Waroeng-Edukasi adalah sebuah blog bagi para insan pendidikan yang ingin berbagi ilmu dan informasi. Mengapa harus berbagi ilmu dan informasi? Pada dasarnya manusia hidup tidak seorang diri...manusia menjadi pintar juga bukan karena dirinya sendiri...pasti membutuhkan orang lain maupun sarana yang bisa dipakai atau digunakan. Dengan dasar itulah, Waroeng-Edukasi hadir bagi kita semua...paling tidak bisa dijadikan tempat berbagi, khususnya di bidang Pendidikan dan IT. Anda bisa berperan untuk mengisi konten maupun informasi-informasi tentang Pendidikan dan IT (via e-mail: aguz3arzo@gmail.com), sekaligus bisa memanfaatkan atau mengambil dari yang sudah disediakan oleh Waroeng-Edukasi. Selamat berbagi!!! GBU!
Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) bernomor 2596/K.PDT/2008 dengan termohon warga negara, pemerhati pendidikan, wakil orangtua korban Ujian Nasional (UN) tahun 2005-2006 sebanyak 58 orang memberi warna baru bagi dunia pendidikan di Indonesia. Putusan MA tersebut ditetapkan Senin, 14 september 2009 dan langsung menimbulkan pro dan kontra. Beberapa hari ini berita tersebut banyak menghiasi mass media, baik cetak maupun elektronik. Pada akhirnya membuat saya untuk ikut ambil bagian berkomentar dan sekedar memberi evaluasi dan analisa meskipun sangat sederhana. Semoga bermanfaat!
Kata "ujian" memang menjadi polemik sejak jaman dulu. Ketika saya Sekolah Dasar sampai di Perguruan Tinggi, jika mendengar yang namanya ujian pasti ada perasaan yang mendebarkan. Selalu dibayangi dengan pertanyaan apakah saya bisa lulus atau tidak. Akan tetapi saat ini, mungkin perasaan kuatir itu dirasakan lebih hebat oleh anak-anak kita. Bayangkan saja, ketika mereka yang ada di SMP atau SMA menempuh pendidikan selama 3 tahun dinyatakan lulus atau tidak hanya oleh beberapa mata pelajaran yang di UN kan, dengan syarat yaitu: memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Pertanyaannya adalah, apakah persyaratan kelulusan UN yang ditetapkan pemerintah cukup berat?Bagi sekolah-sekolah perkotaan dengan standar mutu yang cukup memadai (sarana dan prasarana, kualitas guru dan sumber dana) mungkin memandang syarat kelulusan UN sebagai syarat yang bisa dicapai. Akan tetapi bagi sekolah-sekolah di daerah yang belum tersentuh pemerintah dalam hal sarana dan prasarana tentu akan berat mengejar syarat kelulusan UN. Sebagai salah satu contoh beberapa waktu yang lalu saya bertemu guru-guru SMP Kabupaten/Kota se-Jateng, dimana saya memiliki kesempatan untuk 'berbagi' dengan mereka. Kesimpulannya adalah: bahwa banyak guru-guru di daerah yang merasa tertekan karena harus mempunyai strategi yang jitu agar anak-anak didiknya lulus UN dengan prosentase yang tinggi. Adapun langkah-langkah yang dilaksanakan adalah dengan pemberian drill latihan soal-soal secara rutin bagi siswa, yang notabene banyak sekali 'mengorbankan' pelajaran atau kompetensi lainnya yang tidak di UN kan! Lalu pertanyaannya adalah, bagaimana kualitas lulusan siswa-siswi kita saat ini? Meskipun mereka lulus UN, tetapi mereka adalah generasi-generasi bangsa yang rapuh, karena banyak kompetensi yang tidak diberikan secara utuh selama menempuh pendidikan pada jenjangnya! Mereka adalah generasi yang 'terlalu banyak mendapat tekanan' baik dari sekolah, guru bahkan dari orang tua mereka.
Apakah UN masih dibutuhkan? Bagi saya UN masih sangat dibutuhkan sebagai salah satu indikator keberhasilan siswa dalam menempuh pendidikan pada jenjangnya. (nb: tentunya indikator kelulusan tidak hanya melalui UN saja) Tetapi yang lebih penting adalah saat ini Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) harus lebih fokus dalam menjalankan seluruh program-programnya, apalagi dengan anggaran 20% dari APBN pasti akan lebih efektif untuk mewujudkan atau merealisasikannya. Contoh program Depdiknas antara lain, (1) Pemerataan dan perluasan akses pendidikan, (2) peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing keluaran pendidikan dan (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan. Jika anggaran yang cukup besar benar-benar direalisasikan sampai dengan terwujudnya pemerataan pendidikan baik di pusat maupun di daerah dimana ada kesamaan kualitas/mutu pendidikan, pemerataan sarana dan prasarana, maka sebenarnya dunia pendidikan kita tidak akan mempermasalahkan UN dengan berbagai aturan dan syarat-syaratnya. Saat ini, ketika UN masih menjadi polemik, bagaimana nasib pendidikan kita ke depan?